Jika kita pehatikan, akhir-akhir ini banyak terjadi kasus atau kejadian yang sangat bertolak belakang dengan fikiran logis, etis dan yuridis. Tidak logis, karena perbuatan dan tingkah laku yang ditunjukan sangat bertolak belakang dari loga matematis, dimana jika anda mengerjakan sesuatu dengan cara yang salah tetapi diakhiri dengan cara yang benar, maka akan memiliki kesimpulan umum benar. Begitu pula jika anda melakukan suatu pekerjaan diawali dengan benar dan diakhiri dengan salah maka kesimpulannya adalah salah. Dan juga, jika anda melakukan sesatu dengan salah dan diakhiri dengan kesalahan, maka kesimpulan akhir adalah benar. Etika, norma ataupun kaidah hukum menjadi sesuatu yang sangat sulit untuk dijunjung tinggi. Kecenderungan sekarang adalah, apapun yang saya lakukan dan menurut saya benar, maka itu adalah benar. Namun kecenderungan ini bukanlah bersifat generalisasi, namun hal ini trendnya semakin meningkat dari hari ke hari, dan sudah dalam posisi dimana keadaan ini semakin memprihatinkan jika tidak segera dicari solusi yang tepat dan memadai.
Berbagai kasus akhir-akhir ini secara kasat mata menegaskan kondisi tersebut. Contoh kasus yang dapat dilihat adalah maraknya aksi demo oleh PKL yang cenderong keras dan anarkis terhadap sebuah kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk menertibkan lingkungan agar lebih tertata rapi. Ketidak adilan menjadi isu penting dalam penataan tersebut. Dengan beringas mereka mengusir para satpol PP dan aparat yang bertugas. Lemparan batu, senjata tajam, balok kayu, bambu mereka persiapkan untuk menggagalkan rencana ini. Tak jarang, dengan situasi yang semakin memanas, aparat terpaksa “mengalah” dengan alasan untuk menghindari benturan yang lebih dahsyat dan menghindari terjadinya korban. PKL yang menjadi objek ini adalah mereka yang mencoba mengadu nasib dengan memanfaatkan ruang kosong yang tersedia dan umumnya tidak memiliki pengesahan untuk berusaha di tempat tersebut
Ilustrasi diatas memperlihatkan bagaimana semakin kacaunya tatanan kehidupan di masyarakat kita. Ada dua sisi negatif yang dapat kita lihat dari kasus tersebut. Pertama dari sisi PKL yang memanfaatkan ruang kososng yang yang seharusnya bukan diperuntukan sebagai lahan usaha. Secara logis, etis, moral dan yuridis aktifitas yang dilakukan PKL itu jelas-jelas tidak dapat dibenarkan. Kondisi yang tidak benar ini berlangsung terus menerus dalam jangka waktu lama dan pembiaran pun dilakukan oleh pihak yang seharusnya mengatasi masalah ini (pemkot/pemda). Hal ini diperparah lagi dengan disediakannya berbagai fasilitas yang mendukung untuk usaha mereka, seperti penyediaan jaringan listrik, telepon dll. Pembiaran yang berlangsung lama ini, ditangkap oleh para PKL sebagai sebuah dukungan atas kegiatan usaha yang mereka lakukan, walaupun jelas-jelas izin usaha dan pemanfaatan ruang yang dilakukan tidak pernah mereka kantongi. Mereka terlena dan beranggapan semua akan baik-baik saja, karena toh selama ini mereka aktif membayar segala “kewajiban” mereka, seperti: uang keamanan, listrik, telepon, dan “sewa” lahan kepada pihak yang nyata-nyata ditunjuk oleh pemerintah. Saya tidak mau menyebut oknum, karena saya melihat praktek seperti ini sudah tidak dilakukan oleh sedikit penyelenggara pemerintahan, melainkan sudah merupakan praktek penyimpangan “berjamaah” yang pasti akan selalu ditemukan di tiap-tiap daerah. Oknum itu hanya sebutan bagi segelintir orang yang tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. Namun dalam kasus ini, oknum itu sudah terlalu banyak sehingga tidak layak disebut sebagai oknum. Kembali kepada kasus PKL, kondisi “kondusif” yang bertahun-tahun mereka nikmati akhirnya harus berakhir ketika sebuah kebijakan penertiban diturunkan kepada mereka. Keresahan, bingung, kesal, merasa dikhianati, tidak diperhatikan memenuhi pikiran meerka. Maka tak heran ketika penggususuran harus dilakukan kepada mereka, maka kemarahan yang akan muncul. Lahan yang selama ini menjadi penopang hidup mereka beserta keluarga secara tiba-tiba “terampas”. Kebingungan akan mencari nafkah atau hidup dimana lagi jika mereka “terusir” dari “tempat” mereka. Sebenarnya mereka sama sekali tidak terusir dan tidak kehilangan apapun jika mereka harus meninggalkan tempat yang selama ini mereka tempati. Pengkondisian yang selama ini diberikan oleh aparat pemerintah dan pihak keamanan lah yang menyebabkan meraka merasa “memiliki” dan berhak untuk terus tinggal dilahan tersebut.
Sisi negatif kedua yang dapat ditangkap dari kasus diatas adalah tindakan yang dilakukan aparat sebagai pihak yang harus menjalankan kewajibannya dalam usaha untuk melaksanakan sebuah kebijakan pemerintah. Penertiban ini tidak jarang berakhir dengan kericuhan dan tindakan anarkis. Dari pihak PKL merasa “terdzolimi” dengan kebijakan pemerintah ini dan dengan kekuatan dan segala kemampuan yang ada, mereka berusaha mempertahankan apa yang mereka “miliki” selama ini. Dari pihak aparat dan pemerintah pun memiliki landasan yang kuat untuk melakukan penertiban. Kedua belah pihak berpegang pada prinsip dan keyakinannya masing-masing. Kondisi ini membuat pelaksanaan di lapangan menjadi panas dan rawan bentrokan dan konflik, sehingga tindakan yang tepat dan taktis sangat diperlukan dalam penanganan kasus seperti ini. Penanggung jawab lapangan sangat dituntut untuk memahami psikologi massa, tatanan hukum yang menjadi pijakan dan rasa keadilan. Namun sangat disayangkan, seringkali aparat mengambil tindakan yang justru sekilas memang terkesan menjaga suasana kondusif dan mencegah korban, namun tidak mempertimbangkan efek domini dan jangka panjang yang akan ditimbulkan dari pengambilan keputusan tersebut. Memang benar bahwa konflik dan korban harus sedikit mungkin dihindari. Namun jika kondisi ini dibiarkan terus menerus, maka dikhawatirkan kewibawaan penegak hukum dan hukum itu sendiri menjadi tergerus, yang pada akhirnya akan menjadikan kebiasaan pengerahan massa dan anarkisme yang menjadi penentu. Kalau sudah begini, mau dibawa kemana penegakan hukum di Negara ini.
Gambaran tersebut adalah satu contoh betapa amburadulnya tata karma, etika, moral dan kesadaran hukum masyarakat kita. Dapat dibayangkan kejadian ini melebar ke kasus-kasus lainnya. Saya menjadi ngeri sendiri melihat perilaku masyarakat kita akhir-akhir ini. Tidak ada sedikit pun kesadaran untuk membentuk sebuah tatanana bermasyarakat yang sehat dan berkualitas, baik dari sisi etika,moral dan hukum. Semua itu menjadi tidak berarti kala dihadapkan pada kepentingan sekelompok orang atau golongan yang memiliki massa cukup banyak. Mereka seolah menjadi pengatur sebuah tatanan. Kelompok-kelompok memaksakan keinginannya dan sedihnya lagi Negara sama sekali tidk mampu mengakomodir dan mengambil langkah terbaik untuk mengatasi kondisi yang sudah amburadul ini. Negara ini seakan tak berhukum, walaupun ada hukum itu sendiri justru akan melemahkan hokum lainnya, sehingga menjadi tidak efektif ketika harus menghadapi suatu kasus.
Seolah sudah menjadi tontonan yang biasa, ketika sebuah proses persidangan dapat dengan mudah diinterfensi oleh sekelompok massa yang bertujuan untuk mempengaruhi keputusan hokum yang akan diambil. Contempt of court sudah tidak diperhatikan lagi. Aparat penegak hukum tak berdaya menghadapi kondisi ini. Kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan kebebasan-kebebasan lainnya yang terbuka lebar setelah proses reformasi, tidak memberikan energy positif untuk pembangunan hukum, etika dan moral yang positif di negeri ini. Semua seolah bergerak mundur kebelakang, bahkan saking jauhnya bias dibilang mundur kearah sebelum masa kemerdekaan. Saya mengatakan mundur sejauh itu, karena melihat fakta sejarah yang ada. Sebelum masa kemerdekaan, semua energy positif tercurah untuk kemerdekaan dan kemajuaan bangsa dan Negara ini. Semua elemen dan komponen bangsa bersatu padu merumuskan pokok yang dapat dibangun untuk membentuk sebuah tatanan pemerintahan yang merdeka dan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sehingga lahirlah apa yang disebut Pancasila dan UUD 45. Lihatlah sebuah Negara-bangsa yang saat itu masih dibelenggu oleh penjajajahan mampu menghasilkan mahakarya yang luar biasa, yang mampu mengakomodasi berbagai elemen.
Kenyataan terbalik saat ini muncul di depan mata. Ketidak berdayaan mengahdapi penjajahan baru jilid II yang bernama kebebasan (liberalisasi) jelas terlihat dari segala aspek. Pengaruh -isme -isme dari luar dengan mudahnya masuk dan merasuki pemuda Indonesia yang seharusnya menjadi penerus nilai-nilai kebangsaan Indonesia, namun saat ini malah menjadi agen penyerapan unsur-unsur/isme asing yang belum tentu cocok dengan budaya dan tradisi bangsa Indonesia. Media sebagai corong dan garda terdepan sebuah informasi, sudah sangat absurd dari makna sesungguhnya, bagaimana mereka menyajikan sebuah berita yangs eharusnya menjadi pelajaran bermakna, namun akhir-akhir ini sangat sering dipolitisasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu.media seharusnya dapat menjadi saluran pemercepat pemahaman kebangsaan kepada para pemuda, jangan justru ikut menggerus nilai-nilai tradisi dan budaya bangsa kita yang awalnya sangat beretika, bermoral dan sangat menghormati hukum.
Peran pemerintah sangat krusial dalam hal ini. Pemerintahan yang kuat atau boleh dibilang sedikit otoriter sebenarnya dibutuhkan oleh negeri ini. Sehingga dapat dengan jelas memberikan gambaran kepada rakyat, bahwa kami (pemerintah) yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara bukan anda/kelompok-kelompok tertentu. Diatas itu semua, kita dilindungi oleh payung hukum dan itu adalah wajib untuk ditegakkan, sehingga penyimpangan-penyimpangan atas nama apapun dapat diminimalkan. Diibaratkan sebuah kapal, maka seorang nakhoda harus bertindak tegas terhadap penyimpangan sedikit pun yang tidak sesuai payung hukum tertinggi, demi tercapainya tujuan nasional yang dicita-citakan para pejuang dan founding fathers. Jangan sia-siakan pengorbanan mereka hanya untuk kepentingan segelintir orang yang sudah tercuci otaknya dengan paham-paham asing yang destruktif. Paham yang saya maksud bukan hanya paham yang berasal dari Negara-negara barat, namun juga paham-paham dari Negara –negara Timur dan Timur Tengah yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Radikalisme bukan hanya dari sisi tindakan, tapi juga paham dan pemikiran. Ini lah yang harus diwaspadai. Program pengembangan manusia Indonesia seutuhnya harus digalakan lagi. Saya rasa pengkajian dan program penataran P4 harus diadakan lagi. Nilai-nilai luhur budaya bangsa harus lebih disosialisasikan. Pemerintah harus menjadi contoh dan garda terdepan dalam proses pembentukannya. Saat ini yang dibutuhkan bukan hanya pembangunan fisik dan financial semata, pembangunan karakter, moral dan watak pun sangat penting. Jangan sampai Negara dan bangsa ini terombang-ambing ditengah dahsyatnya pengaruh paham dan jenis penjajahan baru. Kekuatan bangsa ini berada di tangan generasi muda. Sangat disayangkan jika generasi muda sudah dilemahkan oleh paham-paham yang destruktif. Paham yang seolah-olah baik namun pada prakteknya sangat menghancurkan dan menjadikan perpecahan bangsa ini. Perlu kerja keras dan perjuangan yang sangat luar biasa untuk mewujudkan hal ini.
Yang dirasakan sangat urgent saat ini adalah penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih. Korupsi pun harus diberantas hingga ke akar-akarnya dan tanamkan rasa malu dan benci terhadap segala praktek penyimpangan khususnya di kalangan generasi muda. Kasus Gayus yang akhir-akhir ini heboh adalah salah satu contoh dimana generasi muda saat ini sudah sangat teracuni oleh paham kapitalisme yang menghalalkan segala cara untuk dapat memproleh kekayaan sebanyak-banyaknya. Hal ini harus segera ditangkal agar jangan sampai muncul Gayus-Gayus lainnya. Hilangkan keinginan-keinginan yang bersifat instant. Semua butuh kerja keras dan pengorbanan.(bersambung)
Minggu, 23 Januari 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar