Minggu, 23 Januari 2011
INDONESIAKU SAAT INI
Berbagai kasus akhir-akhir ini secara kasat mata menegaskan kondisi tersebut. Contoh kasus yang dapat dilihat adalah maraknya aksi demo oleh PKL yang cenderong keras dan anarkis terhadap sebuah kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk menertibkan lingkungan agar lebih tertata rapi. Ketidak adilan menjadi isu penting dalam penataan tersebut. Dengan beringas mereka mengusir para satpol PP dan aparat yang bertugas. Lemparan batu, senjata tajam, balok kayu, bambu mereka persiapkan untuk menggagalkan rencana ini. Tak jarang, dengan situasi yang semakin memanas, aparat terpaksa “mengalah” dengan alasan untuk menghindari benturan yang lebih dahsyat dan menghindari terjadinya korban. PKL yang menjadi objek ini adalah mereka yang mencoba mengadu nasib dengan memanfaatkan ruang kosong yang tersedia dan umumnya tidak memiliki pengesahan untuk berusaha di tempat tersebut
Ilustrasi diatas memperlihatkan bagaimana semakin kacaunya tatanan kehidupan di masyarakat kita. Ada dua sisi negatif yang dapat kita lihat dari kasus tersebut. Pertama dari sisi PKL yang memanfaatkan ruang kososng yang yang seharusnya bukan diperuntukan sebagai lahan usaha. Secara logis, etis, moral dan yuridis aktifitas yang dilakukan PKL itu jelas-jelas tidak dapat dibenarkan. Kondisi yang tidak benar ini berlangsung terus menerus dalam jangka waktu lama dan pembiaran pun dilakukan oleh pihak yang seharusnya mengatasi masalah ini (pemkot/pemda). Hal ini diperparah lagi dengan disediakannya berbagai fasilitas yang mendukung untuk usaha mereka, seperti penyediaan jaringan listrik, telepon dll. Pembiaran yang berlangsung lama ini, ditangkap oleh para PKL sebagai sebuah dukungan atas kegiatan usaha yang mereka lakukan, walaupun jelas-jelas izin usaha dan pemanfaatan ruang yang dilakukan tidak pernah mereka kantongi. Mereka terlena dan beranggapan semua akan baik-baik saja, karena toh selama ini mereka aktif membayar segala “kewajiban” mereka, seperti: uang keamanan, listrik, telepon, dan “sewa” lahan kepada pihak yang nyata-nyata ditunjuk oleh pemerintah. Saya tidak mau menyebut oknum, karena saya melihat praktek seperti ini sudah tidak dilakukan oleh sedikit penyelenggara pemerintahan, melainkan sudah merupakan praktek penyimpangan “berjamaah” yang pasti akan selalu ditemukan di tiap-tiap daerah. Oknum itu hanya sebutan bagi segelintir orang yang tidak melaksanakan tugas sebagaimana mestinya. Namun dalam kasus ini, oknum itu sudah terlalu banyak sehingga tidak layak disebut sebagai oknum. Kembali kepada kasus PKL, kondisi “kondusif” yang bertahun-tahun mereka nikmati akhirnya harus berakhir ketika sebuah kebijakan penertiban diturunkan kepada mereka. Keresahan, bingung, kesal, merasa dikhianati, tidak diperhatikan memenuhi pikiran meerka. Maka tak heran ketika penggususuran harus dilakukan kepada mereka, maka kemarahan yang akan muncul. Lahan yang selama ini menjadi penopang hidup mereka beserta keluarga secara tiba-tiba “terampas”. Kebingungan akan mencari nafkah atau hidup dimana lagi jika mereka “terusir” dari “tempat” mereka. Sebenarnya mereka sama sekali tidak terusir dan tidak kehilangan apapun jika mereka harus meninggalkan tempat yang selama ini mereka tempati. Pengkondisian yang selama ini diberikan oleh aparat pemerintah dan pihak keamanan lah yang menyebabkan meraka merasa “memiliki” dan berhak untuk terus tinggal dilahan tersebut.
Sisi negatif kedua yang dapat ditangkap dari kasus diatas adalah tindakan yang dilakukan aparat sebagai pihak yang harus menjalankan kewajibannya dalam usaha untuk melaksanakan sebuah kebijakan pemerintah. Penertiban ini tidak jarang berakhir dengan kericuhan dan tindakan anarkis. Dari pihak PKL merasa “terdzolimi” dengan kebijakan pemerintah ini dan dengan kekuatan dan segala kemampuan yang ada, mereka berusaha mempertahankan apa yang mereka “miliki” selama ini. Dari pihak aparat dan pemerintah pun memiliki landasan yang kuat untuk melakukan penertiban. Kedua belah pihak berpegang pada prinsip dan keyakinannya masing-masing. Kondisi ini membuat pelaksanaan di lapangan menjadi panas dan rawan bentrokan dan konflik, sehingga tindakan yang tepat dan taktis sangat diperlukan dalam penanganan kasus seperti ini. Penanggung jawab lapangan sangat dituntut untuk memahami psikologi massa, tatanan hukum yang menjadi pijakan dan rasa keadilan. Namun sangat disayangkan, seringkali aparat mengambil tindakan yang justru sekilas memang terkesan menjaga suasana kondusif dan mencegah korban, namun tidak mempertimbangkan efek domini dan jangka panjang yang akan ditimbulkan dari pengambilan keputusan tersebut. Memang benar bahwa konflik dan korban harus sedikit mungkin dihindari. Namun jika kondisi ini dibiarkan terus menerus, maka dikhawatirkan kewibawaan penegak hukum dan hukum itu sendiri menjadi tergerus, yang pada akhirnya akan menjadikan kebiasaan pengerahan massa dan anarkisme yang menjadi penentu. Kalau sudah begini, mau dibawa kemana penegakan hukum di Negara ini.
Gambaran tersebut adalah satu contoh betapa amburadulnya tata karma, etika, moral dan kesadaran hukum masyarakat kita. Dapat dibayangkan kejadian ini melebar ke kasus-kasus lainnya. Saya menjadi ngeri sendiri melihat perilaku masyarakat kita akhir-akhir ini. Tidak ada sedikit pun kesadaran untuk membentuk sebuah tatanana bermasyarakat yang sehat dan berkualitas, baik dari sisi etika,moral dan hukum. Semua itu menjadi tidak berarti kala dihadapkan pada kepentingan sekelompok orang atau golongan yang memiliki massa cukup banyak. Mereka seolah menjadi pengatur sebuah tatanan. Kelompok-kelompok memaksakan keinginannya dan sedihnya lagi Negara sama sekali tidk mampu mengakomodir dan mengambil langkah terbaik untuk mengatasi kondisi yang sudah amburadul ini. Negara ini seakan tak berhukum, walaupun ada hukum itu sendiri justru akan melemahkan hokum lainnya, sehingga menjadi tidak efektif ketika harus menghadapi suatu kasus.
Seolah sudah menjadi tontonan yang biasa, ketika sebuah proses persidangan dapat dengan mudah diinterfensi oleh sekelompok massa yang bertujuan untuk mempengaruhi keputusan hokum yang akan diambil. Contempt of court sudah tidak diperhatikan lagi. Aparat penegak hukum tak berdaya menghadapi kondisi ini. Kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan kebebasan-kebebasan lainnya yang terbuka lebar setelah proses reformasi, tidak memberikan energy positif untuk pembangunan hukum, etika dan moral yang positif di negeri ini. Semua seolah bergerak mundur kebelakang, bahkan saking jauhnya bias dibilang mundur kearah sebelum masa kemerdekaan. Saya mengatakan mundur sejauh itu, karena melihat fakta sejarah yang ada. Sebelum masa kemerdekaan, semua energy positif tercurah untuk kemerdekaan dan kemajuaan bangsa dan Negara ini. Semua elemen dan komponen bangsa bersatu padu merumuskan pokok yang dapat dibangun untuk membentuk sebuah tatanan pemerintahan yang merdeka dan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Sehingga lahirlah apa yang disebut Pancasila dan UUD 45. Lihatlah sebuah Negara-bangsa yang saat itu masih dibelenggu oleh penjajajahan mampu menghasilkan mahakarya yang luar biasa, yang mampu mengakomodasi berbagai elemen.
Kenyataan terbalik saat ini muncul di depan mata. Ketidak berdayaan mengahdapi penjajahan baru jilid II yang bernama kebebasan (liberalisasi) jelas terlihat dari segala aspek. Pengaruh -isme -isme dari luar dengan mudahnya masuk dan merasuki pemuda Indonesia yang seharusnya menjadi penerus nilai-nilai kebangsaan Indonesia, namun saat ini malah menjadi agen penyerapan unsur-unsur/isme asing yang belum tentu cocok dengan budaya dan tradisi bangsa Indonesia. Media sebagai corong dan garda terdepan sebuah informasi, sudah sangat absurd dari makna sesungguhnya, bagaimana mereka menyajikan sebuah berita yangs eharusnya menjadi pelajaran bermakna, namun akhir-akhir ini sangat sering dipolitisasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu.media seharusnya dapat menjadi saluran pemercepat pemahaman kebangsaan kepada para pemuda, jangan justru ikut menggerus nilai-nilai tradisi dan budaya bangsa kita yang awalnya sangat beretika, bermoral dan sangat menghormati hukum.
Peran pemerintah sangat krusial dalam hal ini. Pemerintahan yang kuat atau boleh dibilang sedikit otoriter sebenarnya dibutuhkan oleh negeri ini. Sehingga dapat dengan jelas memberikan gambaran kepada rakyat, bahwa kami (pemerintah) yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara bukan anda/kelompok-kelompok tertentu. Diatas itu semua, kita dilindungi oleh payung hukum dan itu adalah wajib untuk ditegakkan, sehingga penyimpangan-penyimpangan atas nama apapun dapat diminimalkan. Diibaratkan sebuah kapal, maka seorang nakhoda harus bertindak tegas terhadap penyimpangan sedikit pun yang tidak sesuai payung hukum tertinggi, demi tercapainya tujuan nasional yang dicita-citakan para pejuang dan founding fathers. Jangan sia-siakan pengorbanan mereka hanya untuk kepentingan segelintir orang yang sudah tercuci otaknya dengan paham-paham asing yang destruktif. Paham yang saya maksud bukan hanya paham yang berasal dari Negara-negara barat, namun juga paham-paham dari Negara –negara Timur dan Timur Tengah yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Radikalisme bukan hanya dari sisi tindakan, tapi juga paham dan pemikiran. Ini lah yang harus diwaspadai. Program pengembangan manusia Indonesia seutuhnya harus digalakan lagi. Saya rasa pengkajian dan program penataran P4 harus diadakan lagi. Nilai-nilai luhur budaya bangsa harus lebih disosialisasikan. Pemerintah harus menjadi contoh dan garda terdepan dalam proses pembentukannya. Saat ini yang dibutuhkan bukan hanya pembangunan fisik dan financial semata, pembangunan karakter, moral dan watak pun sangat penting. Jangan sampai Negara dan bangsa ini terombang-ambing ditengah dahsyatnya pengaruh paham dan jenis penjajahan baru. Kekuatan bangsa ini berada di tangan generasi muda. Sangat disayangkan jika generasi muda sudah dilemahkan oleh paham-paham yang destruktif. Paham yang seolah-olah baik namun pada prakteknya sangat menghancurkan dan menjadikan perpecahan bangsa ini. Perlu kerja keras dan perjuangan yang sangat luar biasa untuk mewujudkan hal ini.
Yang dirasakan sangat urgent saat ini adalah penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu, tanpa tebang pilih. Korupsi pun harus diberantas hingga ke akar-akarnya dan tanamkan rasa malu dan benci terhadap segala praktek penyimpangan khususnya di kalangan generasi muda. Kasus Gayus yang akhir-akhir ini heboh adalah salah satu contoh dimana generasi muda saat ini sudah sangat teracuni oleh paham kapitalisme yang menghalalkan segala cara untuk dapat memproleh kekayaan sebanyak-banyaknya. Hal ini harus segera ditangkal agar jangan sampai muncul Gayus-Gayus lainnya. Hilangkan keinginan-keinginan yang bersifat instant. Semua butuh kerja keras dan pengorbanan.(bersambung)
Jumat, 20 Juni 2008
Indonesia adalah sebuah nama yang sangat berharga dalam hidup saya. Nama ini adalah sebuah nama yang menjadi media bagi saya untuk dapat menghirup nafas kehidupan. Indah, sejuk, damai, tentram, toleran, gotong royong, ramah itulah serangkaian kata yang dapat menggambarkan makna sebuah Indonesia. Sepuluh tahun belakangan ini, rangkaian kata2 itu seolah menguap. Tidak ada yang tersisa dari keindahan Indonesia yang dulu sempat saya cicipi. Entah mungkin karena pemahamanku terhadap kehidupan ini lebih baik sejalan dengan bertambahnya usiaku, atau memang Indonesia sudah berubah....???
Sediiih sekali melihat Indonesiaku saat ini. Ternyata gotong royong, ramah tamah, toleransi yang selama ini didengung-dengungkan ternyata hanya hisapan jempol belaka. Haaaahhhh.........Lelah
Selasa, 13 Mei 2008
Meneguhkan Iman Saya
Saya hanya merasa sedih bercampur kasihan melihat kondisi ini. Para jamaah yang sebenarnya kurang mengenal Ahmadiyah jadi sedikit banyak terpengaruh. Dan kebanyakan dari mereka mengamini apa yang disampaikan tanpa coba mencari kebenaran yang sesungguhnya. Ustadz yang berceramah juga mendukung keluarnya SKB dengan alasan agak umat tidak resah dengan keberadaan aliran sesat. Saya kembali tertawa dalam hati, yang bikin resah itu sebenarnya siapa..??? yang sedang berada di depan saya (penceramah) atau aliran "sesatnya". Keresahan ini tidaka akan terjadi kalau justru orang-orang seperti penceramah itu (ustadz) tidak berceramah secara provokatif, walaupun alasannya untuk meluruskan kembali umat. Justru sebaiknya para ulama, kiyai, ustadz dan tokoh-tokoh agama lebih fokus untuk bekerjasama dan membantu pemerintah menjalankan program2 pembangunan bangsa dan negara ini, jika dibandingkan mengurusi urusan yang bersifat pribadi dalam hal keyakinan.
Setelah saya selesai mengikuti pengajian tersebut, justru saya merasa keyakinan saya terhadap Ahmadiyah semakin besar dan saya mencoba untuk kembali belajar masalah agama dan Ahmadiyah lebih jauh lagi. Sungguh, ternyata dibalik kesusahan atau suatu peristiwa terselip makna yang luar biasa. Saya hanya bisa berusaha semampu saya dan berdoa semoga kondisi ini dapat kembali normal dan kemenangan ada di Pihak Ahmadiyah seperti yang sudah dijanjikan Allah Taala, amin.
Ya Allah, hancurkanlah mereka yang memusuhi kami sehancur-hancurnya, amin.
Jumat, 25 April 2008
Ahmadiyah, kenapa sih harus dipermasalahkan?
Kembali lagi pada keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Sesungguhnya Ahmadiyah telah eksis dan berkembang di Indonesia sejak tahun 20-an. Dan bahkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sudah berbadan hukum sejak tahun 1953. Saya kurang paham mengapa pada saat itu pemerintah mensahkan Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan yang diaku keberadaannya di Indonesia. Tapi jika merunut, dapat dipahami bahwa pada saat itu pendiri bangsa sangat mengedepankan nasionalisme dan berusaha untuk melindungi berbagai elemen yang ada di negeri ini. Negara kita memang dibentuk bukan sebagai negara agama, berbagai agama dapat hidup di Indonesia. Ini adalah salah satu cita2 pendiri bangsa. Walaupun memang dalam perjalanan sejarah, kita tidak bisa memungkiri bahwa ada kelompok atau elemen dalam masyarakat yang menginginkan negara ini berdasarkan syariat Islam. Tetapi pada saat itu negara kesatuan-lah yang dirasa paling cocok diterapkan. Maka dibentuklah negara kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai dasar hukum negara. Ternyata berdirinya NKRI ini tidaklah mulus banyak elemen negara yang tidak puas dengan terbentuknya NKRI, baik dari kalangan Muslim maupun non muslim. Harus diakui bahwa selama masa Bung Karno (Orla) dan Pak Harto (Orba) telah berhasil menekan arus yang menginginkan dirubahnya dasar dan falsafah negara, khususnya dari kalanagan garis keras. Mereka tidak puas jika negara ini tidak berdasarkan pada syariah Islam. Pengekangan dan pengkerdilan terhadap Islam garis keras telah menimbulkan efek balon gas. Mereka yang umumnya memang telah membenci Ahmadiyah dengan gerakan bawah tanahnya berhasil membentuk opini dalam masyarakat khususnya generasi muda dengan pendekatan2 logis bahawa sesungguhnya NKRI harus dihapuskan dan diganti dengan Negara Islam. Gerakan ini makin lama semakin kuat, dan hanya tinggal menunggu moment yang tepat untuk dapat menunjukkan jati dirinya. Dan akhirnya hal tersebut semakin nyata adanya setelah masa reformasi, dimana kebebasan berfikir dan berpendapat boleh dilakukan sebebas-bebas. Kondisi ini terbalik untuk JAI. DImasa reformasi ini justru kebebasan beragama yang selama ini dikenyam seolah2 tercabut dengan munculnya lagi fatwa MUI tahun 2005 yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran yang sesat dan menyesatkan. Kondisi ini semakin memberikan angin segar bagi para pembenci Ahmadiyah untuk dapat melakukan manufer yang ditujukan untuk memberangus Ahmadiyah. Saya melihat justru di jaman yang semakin maju dan kebebasan berfikir, bertindak dan menyatakan pendapat yang semakin terbuka, justru tidak dibarengi dengan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Masing-masing kelompok menganggap dia yang berhak mengusung kebenaran dan yang lain salah. Ada apa ini? Apa yang salah? Apakah memang sudah tidak ada lagi rasa toleransi dalam masyarakat kita? Apalagi jika itu menyangkut kebebasan dalam menjalankan ibadah dan keyakinan. Seharusnya justru negara dapat merangkul dan melindungi semua elemen dalam masyarakat kita, jangan justru ikut menyudutkan salah satu pihak apalagi itu minoritas. Menurut logika, tidak akan terlalu banyak yang bisa dilakukan oleh kaum minoritas jika memang paham atau keyakinannya tidak sejalan dan diluar logika masyarakat kebanyakan. Biarkanlah kehidupan ini mengalir dengan apa adanya, dan negara cukup sebagai pelindung dan penengah, tidak perlu terlau jauh mencampuri ranah keyakinan. Sesungguhnya keyakinan itu adalah hak yang sangat mendasar, sama halnya hak kita untuk hidup. Jika memang terdapat perbedaan penafsiran dalam memahami makna yang terkandung dalam ayat suci, jadikanlah perbedaan itu suatu nilai tambah dalam penafsiran. Karena tafsir adalah sesuatu yang dapat berubah tergantung perkembangan zaman. Memang ada pakem atau kaidah yang mendasar yang tidak dapat dirubah, dalam melaksanakan kehidupan suatu agama. Dlaam hal ini Isalam memiliki Rukun Islam dan Rukun Iman serta Al-QUr'an dan Al Hadits. Jika memang Ahmadiyah dinyatakan sesat, memang rada membingungkan. Karena penganut ahmadiyah sendiri sampai saat ini dan detik ini masik memegang teguh Rukun Islam dan Rukun Iman serta Al-Qur'an dan Al Hadits sebagai pegangan hidup. Sudahlah lebih baik kita mencoba untuk menerima perbedaan dan menjaga persatuan dan kesatuan negara ini serta turut berperan dalam membangun negeri menuju Indonesia yang lebih baik.
Kamis, 24 April 2008
Tiada yang sempurna (Relatif)
Sering sekali kita beranggapan, apa yang kita fikirkan dan nilai-nilai yang kita terapkan merupan hal yang benar. Apakah benar hal2 yang kita yakini tersebut benar-benar benar...? Pernahkah kita berkeinginan untuk meyakini kebenaran lain yang juga benar.....? jadi apakah sebenarnya kebenaran itu.? atau jangan-jangan semua itu hanyalah pembenaran belaka, yang nantinya bermuara pada ketidakpastian atau relatifitas. Keyakinan terhadap apa yang menjadi nilai kehidupan merupakan panduan bagi individu untuk dapat menuntunnya mangarungi lautan keserba terbatasan (baca: kehidupan). Jadi dengan demikian, apakah kita berhak untuk mengatakan bahwa perbedaan sudut pandang dalam melihat suatu permasalahan itu adalah sesuatu yang salah..?
Banyak terjadi dalam satu keluarga terjadi ketidakharmonisan disebabkan karena perbedaan berpandangan dan berpendapat yang diperparah dengan sikap tidak mau menerima apa yang menjadi acuan tiap2 anggota keluarga. Bagaimana jika hal tersebut terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara..? Jika demikian halnya, apakah yang dapat menjadi perekat perbedaan...? Saya tidak akan memberikan jawaban karena semua jawaban ada pada pribadi masing-masing. Hanya saja yang hendak saya tekankan disini adalah bahwa tidak ada hal yang lebih baik dalam menghadapi segala relatifitas dan ketidakpastian dalam hidup ini adalah "kebesaran hati". Kita harus meyakini bahwa Tuhan tidak akan pernah menciptakan mahluk yang sempurna, karena justru dengan ketidaksempurnaan itu tiap individu dapat saling mengisi untuk berusaha menjadi lebih baik bukan melukai.