Jumat, 25 April 2008

Ahmadiyah, kenapa sih harus dipermasalahkan?

Hari ini, saya melihat banyak sekali bahasan mengenai Ahmadiyah baik di milist dimana saya menjadi anggotanya maupun di media cetak. Memang beberapa tahun terkahir ini, setelah terjadinya penyerangan kampus Mubarak di parung oleh sekelompok massa yang menamakan Gerakan Umat Islam (GUI), sering terjadi kekerasan dan kekacauan yang ditujukan kepada Ahmadiyah dan para pengikutnya. Akar permasalahnnya adalah fatwa MUI yang menyatakan bahwa Ahmadiyah sesat dan menyesatkan. Fatwa tersebut secara tidak langsung telah memberikan lampu hijau kepada umat Islam di Indonesia untuk dapat mengadili dan menghakimi para pengikut Ahmadiyah baik secara fisik maupun non fisik. Pengajian-pengajian yang bertujuan untuk mendeskreditkan Ahmadiyah pun sangat gencar dilakukan yang justru memperuncing kebencian kepada Ahmadiyah. Sejatinya, jika memang para pendakwah yang sering sekali Road Show ke daerah-daerah bertujuan untuk meluruskan sesuatu yang mereka anggap salah dan menyimapang, dilakukan dengan cara dialog yang terbuka dan membangun dimana mereka dapat mengundang pihak Ahmadiyah. Kenyataan yang ada selama ini tidaklah seperti itu. Mereka hanya mengeluarkan opini mereka beserta sedikit bukti lawas yang mereka anggap meyakinkan untuk mendeskreditkan Ahmadiyah. Tidak pernah ada dialog yang membangun yang didasari toleransi dan saling menghormati. Kondisi ini yang membuat para hadirin yang mendengar merasa gerah dan lebih parah lagi mereka juga mengamini apa yang disampaikan. Masyarakat Indonesia memang masih kental dengan budaya primordial, dimana mereka sangat menghormati dan meyakini apa yang disampaikan oleh orang2 yang mereka "hormati" tanpa ada kajian dan Crosscheck suatu masalah. Kelemahan inilah yang sering digunakan orang yang memiliki kepentingan tertentu untuk mencapai tujuannya dengan cara mobilisasi massa. Inilah yang kini sedang terjadi. Hanya karena kebencian dan kedengkioan segelintir orang terhadap eksistensi Ahmadiyah, dengan mengatasnamakan agama dan julukan Habib, Kiyai atau ustadz yang melekat padanya berusaha untuk mencuci otak mereka yang berpotensi untuk dipengaruhi. Padahal mereka sendiri sebenarnya tidak tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi. Ironis bukan...???
Kembali lagi pada keberadaan Ahmadiyah di Indonesia. Sesungguhnya Ahmadiyah telah eksis dan berkembang di Indonesia sejak tahun 20-an. Dan bahkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sudah berbadan hukum sejak tahun 1953. Saya kurang paham mengapa pada saat itu pemerintah mensahkan Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan yang diaku keberadaannya di Indonesia. Tapi jika merunut, dapat dipahami bahwa pada saat itu pendiri bangsa sangat mengedepankan nasionalisme dan berusaha untuk melindungi berbagai elemen yang ada di negeri ini. Negara kita memang dibentuk bukan sebagai negara agama, berbagai agama dapat hidup di Indonesia. Ini adalah salah satu cita2 pendiri bangsa. Walaupun memang dalam perjalanan sejarah, kita tidak bisa memungkiri bahwa ada kelompok atau elemen dalam masyarakat yang menginginkan negara ini berdasarkan syariat Islam. Tetapi pada saat itu negara kesatuan-lah yang dirasa paling cocok diterapkan. Maka dibentuklah negara kesatuan Republik Indonesia dengan Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai dasar hukum negara. Ternyata berdirinya NKRI ini tidaklah mulus banyak elemen negara yang tidak puas dengan terbentuknya NKRI, baik dari kalangan Muslim maupun non muslim. Harus diakui bahwa selama masa Bung Karno (Orla) dan Pak Harto (Orba) telah berhasil menekan arus yang menginginkan dirubahnya dasar dan falsafah negara, khususnya dari kalanagan garis keras. Mereka tidak puas jika negara ini tidak berdasarkan pada syariah Islam. Pengekangan dan pengkerdilan terhadap Islam garis keras telah menimbulkan efek balon gas. Mereka yang umumnya memang telah membenci Ahmadiyah dengan gerakan bawah tanahnya berhasil membentuk opini dalam masyarakat khususnya generasi muda dengan pendekatan2 logis bahawa sesungguhnya NKRI harus dihapuskan dan diganti dengan Negara Islam. Gerakan ini makin lama semakin kuat, dan hanya tinggal menunggu moment yang tepat untuk dapat menunjukkan jati dirinya. Dan akhirnya hal tersebut semakin nyata adanya setelah masa reformasi, dimana kebebasan berfikir dan berpendapat boleh dilakukan sebebas-bebas. Kondisi ini terbalik untuk JAI. DImasa reformasi ini justru kebebasan beragama yang selama ini dikenyam seolah2 tercabut dengan munculnya lagi fatwa MUI tahun 2005 yang menyatakan Ahmadiyah sebagai aliran yang sesat dan menyesatkan. Kondisi ini semakin memberikan angin segar bagi para pembenci Ahmadiyah untuk dapat melakukan manufer yang ditujukan untuk memberangus Ahmadiyah. Saya melihat justru di jaman yang semakin maju dan kebebasan berfikir, bertindak dan menyatakan pendapat yang semakin terbuka, justru tidak dibarengi dengan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Masing-masing kelompok menganggap dia yang berhak mengusung kebenaran dan yang lain salah. Ada apa ini? Apa yang salah? Apakah memang sudah tidak ada lagi rasa toleransi dalam masyarakat kita? Apalagi jika itu menyangkut kebebasan dalam menjalankan ibadah dan keyakinan. Seharusnya justru negara dapat merangkul dan melindungi semua elemen dalam masyarakat kita, jangan justru ikut menyudutkan salah satu pihak apalagi itu minoritas. Menurut logika, tidak akan terlalu banyak yang bisa dilakukan oleh kaum minoritas jika memang paham atau keyakinannya tidak sejalan dan diluar logika masyarakat kebanyakan. Biarkanlah kehidupan ini mengalir dengan apa adanya, dan negara cukup sebagai pelindung dan penengah, tidak perlu terlau jauh mencampuri ranah keyakinan. Sesungguhnya keyakinan itu adalah hak yang sangat mendasar, sama halnya hak kita untuk hidup. Jika memang terdapat perbedaan penafsiran dalam memahami makna yang terkandung dalam ayat suci, jadikanlah perbedaan itu suatu nilai tambah dalam penafsiran. Karena tafsir adalah sesuatu yang dapat berubah tergantung perkembangan zaman. Memang ada pakem atau kaidah yang mendasar yang tidak dapat dirubah, dalam melaksanakan kehidupan suatu agama. Dlaam hal ini Isalam memiliki Rukun Islam dan Rukun Iman serta Al-QUr'an dan Al Hadits. Jika memang Ahmadiyah dinyatakan sesat, memang rada membingungkan. Karena penganut ahmadiyah sendiri sampai saat ini dan detik ini masik memegang teguh Rukun Islam dan Rukun Iman serta Al-Qur'an dan Al Hadits sebagai pegangan hidup. Sudahlah lebih baik kita mencoba untuk menerima perbedaan dan menjaga persatuan dan kesatuan negara ini serta turut berperan dalam membangun negeri menuju Indonesia yang lebih baik.

Kamis, 24 April 2008

Tiada yang sempurna (Relatif)

Sering sekali kita beranggapan, apa yang kita fikirkan dan nilai-nilai yang kita terapkan merupan hal yang benar. Apakah benar hal2 yang kita yakini tersebut benar-benar benar...? Pernahkah kita berkeinginan untuk meyakini kebenaran lain yang juga benar.....? jadi apakah sebenarnya kebenaran itu.? atau jangan-jangan semua itu hanyalah pembenaran belaka, yang nantinya bermuara pada ketidakpastian atau relatifitas. Keyakinan terhadap apa yang menjadi nilai kehidupan merupakan panduan bagi individu untuk dapat menuntunnya mangarungi lautan keserba terbatasan (baca: kehidupan). Jadi dengan demikian, apakah kita berhak untuk mengatakan bahwa perbedaan sudut pandang dalam melihat suatu permasalahan itu adalah sesuatu yang salah..?

Banyak terjadi dalam satu keluarga terjadi ketidakharmonisan disebabkan karena perbedaan berpandangan dan berpendapat yang diperparah dengan sikap tidak mau menerima apa yang menjadi acuan tiap2 anggota keluarga. Bagaimana jika hal tersebut terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara..? Jika demikian halnya, apakah yang dapat menjadi perekat perbedaan...? Saya tidak akan memberikan jawaban karena semua jawaban ada pada pribadi masing-masing. Hanya saja yang hendak saya tekankan disini adalah bahwa tidak ada hal yang lebih baik dalam menghadapi segala relatifitas dan ketidakpastian dalam hidup ini adalah "kebesaran hati". Kita harus meyakini bahwa Tuhan tidak akan pernah menciptakan mahluk yang sempurna, karena justru dengan ketidaksempurnaan itu tiap individu dapat saling mengisi untuk berusaha menjadi lebih baik bukan melukai.